Unfair

Mana mungkin bisa membicarakan rasanya terbang saat laripun aku lamban.
Rasanya terlalu naif berpikir aku mampu keluar sebagai juara saat garis finish terlihat fatamorgana.

Aku-kah yang tak berusaha?
Atau memang cuma ini yang aku bisa?
Begitu lama kunanti hasilnya hingga aku begitu terburu-buru mengambil langkah yang lama-lama terasa salah.

Begitu hari-hari yang selalu terasa klimaks untukku.

Saat ada pilihan rasanya begitu bimbang.
Segalanya terasa seimbang.
Kujatuhan pilihan, baru kutemukan jawaban.
Aku tidak suka, aku kesulitan mencoba.

Air yang dibiarkan mengalir tak menemukan hilir.
Angin yang dipilih mengudara ke tempat tak seharusnya.
Lalu harus seperti apa?
Diam payah tak menciptakan emas seperti pepatah.
Bahkan lebih terdengar seperti geming yang begitu hening.

Sungguh, Ini nggak adil untukku.

Morning Booster

Bagian paling favorit saya saat di rumah adalah ketika saya bangun tidur di pagi hari (read:09.00 am) dan menemukan Bapak paling baik yang selama 17 tahun ini saya panggil dengan sebutan "Abah" duduk di ruang tamu ditemani teh tubruk favorit buatan Umi.

Kalau udah gitu, saya nggak pernah gosok gigi atau cuci muka. Duduk dulu di samping beliau, ngelendot-lendot. Nunggu Beliau nyuruh saya ke kamar mandi maksudnya. Gitu kalau saya pulang di akhir pekan saya alias Jum'at berharga. Saya dibiarin istirahat katanya.

Pagi adalah waktu-waktu ter-akur saya sama orangtua. Mungkin karena kita masih sama-sama waras ? Hahaha. Actually, kita nggak pernah bener-bener berantem sebenernya. Cuma emang dasarnya sama-sama keras kepala plus-plus saya yang susah banget nerima nasehatnya.

"Mbak, UKK-nya gimana? Bisa?"

Dan saya yang sulit bikin lega dan terbiasa terbuka.

"Sulit Bah. Aku kurang belajarnya. Obatku bikin cepet ngantuk. Jadi nggak bisa belajar sampek malem kayak temen yang lain."

"Yaudah mbak nggakpapa. Ntar belajar lagi. Remidi ya dijalani. Jangan dibawa beban, tapi belajarnya yang tenanan lho."

Percakapan yang sangat-sangat biasa.

"Mbak, poinmu kemaren dikirim. Kok bisa banyak banget?"

"Aku juga heran Bah. Tapi itu cuma alpha sholat kok."

"Owalah, yaudah. Yang penting nggak aneh-aneh. Kamu tetep sholat kan?"

Tapi bikin nggak enakan luar biasa.

"Iya Baaah, Aku udah denger berapa kali gitu."

"Aku lagi capek kenapa dimarahin, sih?"

Kata Abah, saya yang paling sulit buat nerima nasihat. Emang bener. saya bebal dan suka bikin kesal. Saya paling bandel dan paling intens bikin masalah. Saya yang kakak, tapi nggak bisa diandalin.

"Mbak, mbak. Kadang emang sulit ngobrol sama kamu. Tapi kamu anak Abah paling unik lhoo."

Dan begitu pagi-pagi paling menyenangkan. Saat dimana nasehat mudah diterima telinga saya. Saat dimana saya merasa jadi anak paling beruntung di dunia. Punya orangtua yang nggak teriak-teriak nyuruh bangun pagi di hari libur, menyapa saya dan menanyakan seberapa nyenyak tidur saya semalam (padahal diam-diam saya tidur larut untuk menonton drama) dan masih menyimpan waktu untuk sekedar sarapan bersama.

Dan begitu pagi yang akan selalu saya ingat. Dimana di dalam hati saya berjanji banyak untuk membahagiakan Orangtua. Dimana saya berjanji untuk bertemu pria baik dan akan membiarkan saya menemani mereka di hari tua. Dimana saya berjanji untuk bermain dengan teman-teman baik yang selalu menyapa mereka.

Dan itulah pagi dimana saya menyimpan ribuan moodbooster untuk menghadapi hari-hari tanpa mereka berikutnya di asrama. Pagi-siang-malam ke depan.