Rainproof



Seperti sebuah imaji saja 
Yang pada akhirnya menjadi nyata
Einstein pernah berkata dalam teori relativitasnya 
Bahwa ia percaya waktu dapat dikurung dalam sebuah wadah
Sekalipun itu benar, aku percaya selalu ada memori sekalipun waktu terus berlalu  

Begitulah caraku menerjemahkan rindu di usai yang lalu.
Ah cukupkan. 
Kadang aku memang suka terbawa suasana saat  tiba-tiba hujan begini datang.
Saat ini bukan tentang rinduku yang ingin kubicarakan,
Ini soal udar rasa yang tak pernah tersampaikan..

Mungkin ini yang dinamakan hujan
1% mereka merintihkan airnya, dan 99% sisanya mereka mengingatkan sisa candu ini
Aku tak berharap banyak pada hujan pada kali ini
Tapi aku berharap hujan kali ini, engkau datang.

Tentang rasa yang tak sepantasnya hadir lagi
Hujan memaksaku kembali
Menyeret harap yang terhenti
Menguak rasa yang nyatanya tak pernah berhenti
Sudikah, menerimaku kembali?

Yogyakarta, 18 Juni 2016
Jadi karena hujan deras yang memaksa pertemuan ini ada,
dan karena gabut begitu melanda,
berhubung juga Wifi perpuskot tersedia,
terbitlah sajak super drama ini.
Semoga hujannya cepet reda ya.

The Textpectation


(n) the anticipation felt when waiting for a response to a text.

Harus kukabarkan kah pada seisi semesta kalau aku, si gadis super gengsi menunggumu? Kuakui ini berlebihan, tapi kamu yang tak peka sungguh keterlaluan. Haruskah aku menjabarkan penantian sulitku dalam banyak praduga di berbagai jenis dering ponsel pintarku?

Dering pertama setelah 20 menit duduk memantengi layar adalah getar ; tanda WhatsApp masuk.

Cukup berdebar membayangkan kamu mengirimi pesan berbunyi "Aku juga menunggumu" dan,

Bodoh.

Oke, kenapa teman-temanku tak cukup memahami resahku menunggu kabarmu dan justru mengirimi banyak gambar-gambar lawak lalu mentertawainya yang justru membuatku semakin gelisah? Dan berikutnya seluruh notif grup kusunyikan.

Dering kedua di menit ke 57 -dimana kesabaranku masih diam manis ditempatnya- tetap juga getar ; tanda Line baru muncul.

Bagiku cukup membuatku senang kamu berbasa-basi menanyakan kabarku dan,

Oh astaga.

Line memberi kuis untuk mendapatkan stiker gratis. Jadi apa itu cukup penting untukku yang . . . Aish.

Dering ketiga di 1 jam 23 menitku saat kantuk mulai menyerang retina adalah suara Niall Horan di awal lagu One Direction berjudul Infinity favoritku yang berarti ; tanda panggilan masuk.

Kali ini aku tak mau muluk-muluk. Bahkan cukup melegakan untukku menger suaramu mengatakan "maaf kepencet" dan,

Sht. 

Cuma nomer tak dikenal dari teman lama yang iseng mengerjai. Rasanya begitu menyebalkan sekali saat kamu begitu menanti dan membuat banyak ekspektasi namun nyatanya ponselmu sendiri tak mau berkompromi.


Dering Keempat di 2 jam 15 menitku seperti aku terbangun dari mimpi mimpi panjang. Dan benar, aku memang tertidur. Kali ini kudiamkan saja, aku tak mau terperdaya. Aku bangkit dan mencuci muka. 

Tunggu, ponselku tak punya dering semacam ini.  Bukankah itu bunyi bel pintu ; tanda tamu?

Ah, pasti mama lupa membawa kunci saat keluar rumah tadi. Kuputar kenop dan,

Kutemui mama benar disana. 

Bersama pria yang sedari pagi kutunggu pesannya. Bagaimana bisa? Tak sempat bertanya-tanya, ia mengulurkan tangannya.

"Mau pergi makan bersama?"

Jadi aku tau harus bagaimana. Takkan kutunggu pesannya, tapi datangnya.


yap, The Series kembali lagi dengan cerita yang sengaja saya buat menegangkan.
hehehe. 
buat pembaca, akan sangat membantu kritik dan sarannya.
gomawo :)

This Story belongs to Syifa Firza yang baper banget di grup.
Nungguin pesan doi yang lagi studi. bahaha.
Be Patient eak. lovyuu

The Errorist


(n) someone who repeatly makes mistakes, or is always wrong

         Dia menatapmu lekat-lekat, membuatmu sedikit jengah. Matanya yang pekat, tidakkah menguatkan rasa bersalah? Kamu tau jelas tentangnya yang menuntut kejujuranmu yang sejak lama amblas.

         Kamu menunduk lama, membuat gadis di depanmu bertanya-tanya. "Ada apa denganmu?".  " Kenapa diam saja?".  "Bukankah ini hal yang mudah bagimu untuk menyelesaikannya?".  "Kenapa tak berbohong lagi dan membuat alasan seperti biasanya?"  Dan kamu yang cerdas seharusnya paham betul ia akan bertanya-tanya seperti itu.

         Menenggelamkannya dalam resah, membuatnya berpikir bahwasanya kamu menyesal dan begitu bersalah, hingga akhirnya dengan ia meredam marah lalu lagi-lagi menyerah. Pada kesalahanmu, pada kedustaanmu, juga pada keniscayaanmu. Begini caramu kali ini supaya ia tetap disini dan tak meninggalkanmu pergi. Dan seperti itulah, gadis itu jatuh dengan mudah. Ke pelukanmu kembali, untuk tersakiti lagi suatu saat nanti. 

         Ada yang luput dari sudut pandangmu. Ada yang tak bisa kamu lihat dari pojok gelapmu. Ada nyata yang terbutakan dari matamu. Ia melihatmu utuh dan lengkap. Usaha baikmu seperti saat di dekatnya, juga kelengahanmu menjaga rasa saat jarak menjauhkanmu dengannya. Ia mencoba memahami saat dimana kamu bosan dengannya, mencoba membohonginya, lalu terus-terusan membodohinya. 

Bahkan tentang sore kemarin saat ia memutuskan memaafkanmu dan memulainya kembali bersamamu.

Ia cukup paham bahwa nantinya kamu akan berpeluang meninggalkan luka yang lebih dari sore kemarin. Karena baginya, cukup menerimamu maka segalanya tak apa.

Kamu yang tak pernah belajar dari kesalahan takkan memahami bab begini bukan? 

Hei, Errorist?

hello holiday, nice to meet you but saya bener-bener bosen.
tiap hari mantengin laptop, so saya memutuskan untuk berkarya saja.
The Errorist adalah bagian dari The Series yang bakal saya blog selama liburan.
ini proses belajar, jadi pardon banyak cacatnya yaa.

btw, this story belongs to my Beloved, Prismawinda.
Kamu yang memutuskan, kamu yang menerima pris.

Jangan nangis terus, 
kamu bikin saya ngerasa bersalah nggak bisa ngehibur lho:)