The Destinesia



(n) when you get to where you were intending to go, but forget why you were going there in the first place

Sambil menyeka debu-debu yang hinggap, aku menggumam pelan hampir tak kedengaran. Tempat ini dibiarkan tetap sama seperti awalnya, rupanya. Kursi kayu tua dan bantal-bantal lama tempat dulu aku biasa menulis berlembar-lembar cerita, frame jendela tanpa kaca  dengan lebar dan panjang satu kali dua, dan rak-rak besar berisi barang-barang antik yang mahal tiada tara.

 Di meja bartender, seorang pria tengah asyik menyusun dessert pesananku, memotong beberapa stoberi sambil sesekali menyiulkan lagu-lagu pop terbaru, dan beberapa perempuan genit yang mengelilinginya. Pria itu, ia kenalanku saat masih duduk di bangku pelajar. Dia bagiku seperti brankas rahasia, tempat berbagi segalanya.  Ingin sekali kusapa, tapi sepertinya ia padaku sudah lupa.

Sembilan tahun silam aku mampir ke tempat ini. Paman pemilik kafe yang hapal sekali dengan wajahku meminjamkan sebuah buku cerita. Kuletakkan pantatku di kursi tua sambil menikmati pemandangan pengunjung berdatangan dari balik jendela. Selang beberapa menit, susu putih pesananku diantar, oleh pria itu. Sekedar tahu, ia adalah anak dari paman si empu toko.  Ketika waktu senggang, ia sering bantu-bantu. Kata pelayan, ia pintar dalam hal mengolah makanan. Ia menyapaku kemudian  mengambil tempat  di sampingku.

“Mencari ide untuk menulis?” katanya sambil melongok buku yang kupegang. Aku Cuma mengangguk sedikit.

“Enaknya, punya hobi. Aku bahkan tak tau harus melanjutkan kemana sekolahku.” Ia melenguh kesal. 

“kenapa tak lanjutkan saja usaha ayahmu? Kamu kan paling top soal mengolah rasa. Kalau kamu serius menggelutinya aku yakin betul kamu bisa masuk kedalam nominasi koki nomor satu di Indonesia.”  Rupanya yang diajak bicara diam saja. Ada keraguan besar dari sorot matanya. Aku melirik tindik di telinganya, celana rombeng dan kaos oblong hitam yang dikenakannya lalu tertawa kemudian bertanya.

“Jadi sebenarnya apa masalahnya? Kamu malu dengan teman-teman geng motormu yang terkenal berandalnya sedang kamu mengenakan apron dan berteman dengan wajan dan teplon? Ck,benar-benar ya.” Ia membuang pandangannya ke arah lain. Rasa minder yang luar biasa begitu terbaca.

Aku mencondongkan sedikit tubuhku. Menepuk-nepuk pundaknya yang lebar. “Ini satu-satunya mimpimu. Satu-satunya hobi yang kamu miliki, mm maksudnyaa-- selain berkelahi. Coba saja dulu kalahkan gengsimu. Kamu mau keliling dunia bukan? Aku bantu carikan beasiswa sekolah memasak di luar negeri.”

 Ia mendecak. “ah, sudahlah. Tak usah dipikirkan.”

Aku bersikukuh membantunya. Kadangkala aku browsing sekolah tata boga, mengeprintnya, lalu mampir ke kafe tersebut.
 
 Beberapa waktu kemudian ketika aku berkunjung ia menyajikan dessert yang sama sekali tak kupesan. Gratis katanya. ia mengatakan padaku kalau ia sudah mencoba mendaftar universitas yang kurekomendasikan. Aku tentu saja, girang luar biasa. Setidaknya ia mendengarkanku, begitu.

Karena sibuk menjalani beberapa tes kualifikasi universitas selang dua bulan setelah itu aku baru berkunjung. Tak kutemui ia disana. Kupikir ia juga sama sibuknya, jadi aku diam saja. Kemudian aku datang lagi, dan datang lagi. Ia masih tak ada. Begitu penasaran, kutemui paman dengan alibi meminjam beberapa buku. 

Pria itu mendapat beasiswa sekolah tata boga di Amerika, pemberitahuannya tepat dua minggu setelah ia memberitahuku soal pendaftarannya. Paman bilang Ia mencariku, tapi tak tahu bagaimana caranya menemukanku.

 Aku baru menyadari, kami tak pernah bertukar nomor telepon. Hanya bertemu saat aku meluangkan waktu di tempat ini. Saling menyapa dan berbagi curhat yang kami sama-sama tak melihat. Menggosipkan siapa yang sebenarnya kami sama-sama tak mengenal.  Dia yang sangat suka berkomentar tentang tulisanku dan aku yang begitu gemar mencicipi makanannya.

Maka begitulah akhir dari hubungan ini, setidaknya menurutku. Aku pergi ke Jepang, mengenyam pendidikan sastra dan saat ini telah menerbitkan beberapa buku cerpen, sajak dan potongan puisi. 

Dua tahun yang lalu aku membaca profilnya di sebuah artikel. Rupanya ia benar-benar menjadi koki tampan yang terkenal dan telah mendirikan beberapa restoran dan besar di Amerika sana. Dibahas pula ia yang baru saja menggelar grand opening restorannya di Jakarta. Ingin sekali menemuinya, tapi enggan mendapat fakta bahwa ia sudah lupa.

Jadi hari ini aku iseng mampir. Setengah mati kaget saat pria itu masih saja mengurus dapur kafe. Posturnya masih sama. Tinggi dan gagah. Rahangnya yang lancip. Hanya tindik dan kaos rombengnya yang sudah hilang entah kemana. Berganti rambut hitam setengah berantakan dan kemeja yang lengannya digulung. Rasanya jantungku berdebar terlalu kencang melihatnya. Aku tak tahu harus bagaimana selayaknya berperilaku. Jadi kuputuskan saja berpura-pura tak tau. 

Dan, pria itu mendekat. Aku begitu gugup hingga mengalihkan pandangan kearah yang berlawanan. Kulirik sedikit, pria itu menata makanan yang kupesan di meja. Sedikit aneh dan kaku. Terutama saat kemudian ia menyodorkan sesuatu.

Sebuah bolpen dan buku karanganku. Lebih tepatnya, buku kumpulan cerpenku dimana salah satu ceritanya mengisahkan pria itu.Aku sangat-sangat terkejut. Saat menoleh pria itu hanya berlalu dan meninggalkan sebaris kalimat.

“Boleh saya meminta tanda tangan anda di halaman depan, nona penulis?”

Begitu kikuknya, aku membuka buku tersebut. Di halaman pertama ia meninggalkan sebuah coretan yang hampir saja membuatku limbung karena dadaku begitu melambung.

Bagaimana bisa saya terbang begitu tingginya, dan melupakan siapa yang memberitahu saya bahwa saya memiliki sayap, nona?

Aku menoleh, menatap pria itu. Tak sengaja bertabrakan dengan bola mata abu-abunya yang pekat dan tajam. Ia tersenyum.

Manis sekali.

Tidak ada komentar: